Wednesday, May 27, 2009

arTik3l !!!! part I

GURU BESAR
UNIVERSITAS KEHIDUPAN


Diary Jenny Jusuf

Saya mulai berkotbah pada usia 18 tahun. Seriously. Dan sekedar tambahan info, saya tidak berkotbah di depan anak-anak muda thok. Waktu itu, di bawah naungan sebuah lembaga pelayanan interdenomasi yang di gawangi (halah) sepasang hamba Tuhan muda, saya melayani sebagai pengkotbah keliling. Mulai dari persekutuan kantor, pertemuan pengerja, gereja kecil berlantai semen di desa, sampai gereja besar berinterior mewah yang jemaatnya selalu terlambat setengah jam dari jadwal ibadah (wink-wink).

Yang dikotbahkan? Banyak. Alkitab itu tebal, Jendral, hehehehe. Intinya, ketika masih berusia belasan, saya sudah mencicipi pengalaman yang di miliki hamba-hamba Tuhan berusia puluhan tahun di atas saya.

Rasanya? Nano- nano. Manis-asem-asin. Saya pernah deg-degan juga waktu di minta mendoakan seorang penderita katarak, karena kacamata saya sendiri setebal pantat botol. Saya pernah panas-dingin di atas mimbar karena mendadak lupa nama tokoh Alkitab yang saya kutip untuk berkotbah. Saya pernah nervous saat melangkah kaki ke mimbar . .. dan menemukan Kepala Sekolah saya jaman SMP (yang sangarnya setengah mati!) duduk di bangku terdepan. Namun saya juga merasakan sensasi yang luar biasa ketika berdiri dan menyampaikan firman kepada sekumpulan jemaat.

Di usia semuda itu, dengan masa lalu yang tidak bias di bilang manis, saya merasa bebek jelek dalam diri saya perlahan bertransformasi menjadi angsa cantik. Persis dongeng Hans Christian Andersen. Apalagi ketika ibadah selesai dan pemimpin jemaat melayami saya dengan muka sumringah sambil berpesan, “kapan-kapan melayani di sini lagi, ya.” Dan saya akan mengangguk seraya menjabat si gembala dengan penuh gaya. Tentunya disertai segelintir rasa bangga yang saya tutupi dengan rapat-rapat, karena tidak ada hamba Tuhan yang sombong.

18 tahun. Berkotbah dihadapan jemaat umum. Mendoakan orang. Menyembuhkan orang sakit. Menumpangkan tangan. Mengadakan altar call. Memberikan pesan nubuatan. Apalagi yang belum saya cicipi ?

18 tahun. Sangat muda, sangat dinamis, penuh energi, dan sayangnya, penuh ambisi. Pelan tapi pasti, kesombongan menjalari hati saya seperti ular berbisa.

Saya mulai mengatur sikap dan pembawaan saya sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan hamba Tuhan yang sempurna dan tak bercacat cela. Saya mengatur setiap kata yang keluar dari mulut saya. Saya mengatur tindakan-tindakan saya, sampai ke hal yang paling remeh seperti bercanda dan ngobrol santai (!). yang paling parah, saya bahkan mengatur cara saya tertawa.

Sempurnakah saya ? Tentu. Dari luar. Bagi orang-orang terdekat –seperti adik dan para sepupu- saya tak lebih dari figure yang ‘menakutkan’. Saudara-saudara saya tak pernah betah berlama-lama di dekat saya. Kalaupun terpaksa ngumpul bareng, mereka menjaga sikap karena kuatir saya hakimi. Konyolnya, saya sama sekali tidak menyadari perubahan sikap mereka. Saya malah merasa bangga karena mengira telah berhasil memberi contoh teladan bagi saudara-saudara saya (duoooh).

Sudah cukup ? Belum. Yang terburuk dari semuanya adalah, segala hal baik yang saya tampilkan hanya berlaku ketika saya berada diluar rumah. Di rumah, saya adalah saya, seasli-aslinya. Remaja manja yang sombong karena merasa diri paling benar.

Lambat-laun, entah bagaimana caranya, pemimpin saya yang punya naluri lebih tajam dari silet mulai mencium gelagat itu. Saya dipanggil dan dinasehati. Sayangnya, ketika itu terjadi, ego telah menutup Haiti dan menulikan telinga saya dari bisikan nurani. Saya mngiyakan teguran itu, namun tidak kunjung bertobat, malah semakin menjadi-jadi.

Tahap berikutnya, saya memperoleh teguran keras. Saya mengiyakan, dan menganggapnya angina lalu. Namun, tidak seperti badai yang pasti berlalu (halah lagi), teguran keras yang saya abaikan itu tidak ikut berlalu seperti dugaan saya. Pemimpin saya punya insting dan penciuman yang jauh lebih kuat dari harimau lapar.

Tahap berikutnya, saya didisplin. Pelayanan saya dihentikan. Jadwal saya menjadi kosong dalam sekejap.

Merasa di perlakukan tidak adil dan putus asa, saya memutuskan untuk menampilkan sisi asli yang selama ini saya tutupi. I am Who I am.

Hasilnya, saya membuat pemimpin saya menangis. Saya menimbulkan segala jenis kekacauan, mulai dari terang-terangan bersikap membangkang, memeberontak, meremehkan, sampai membanting pintu di depan hidung pemimpin saya ( that’s when she cried)


To be continue . . . .

No comments: